Momenwisata.com

Suku Tengger

Juli 25, 2024 | by Mimin Momen Wisata

Suku Tengger

Pendahuluan

Momenwisata.com – Salah satu dari sekian banyak suku bangsa yang membentuk masyarakat yang tinggal di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, adalah suku Tengger. Mereka tinggal di dataran tinggi sekitar pegunungan Tengger, Bromo, dan Semeru di Jawa Timur, tempat mereka menjadi suku asli. Masyarakat suku Tengger disebut juga dengan orang Brama, orang Bromo, dan orang Tengger. Masyarakat Tengger tidak hanya tinggal di perbukitan pegunungan, mereka juga tinggal di Kabupaten Lumajang, Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Pasuruan, dan Kabupaten Malang.

Asal Usul Suku Tengger

“Tengger” berasal dari bahasa Jawa yang berarti “lurus” atau “tidak bergerak.” Dalam pandangan masyarakat, kata ” tengger ” juga bisa berasal dari singkatan ” tengering budi luhur.” Ada beberapa pendapat tentang asal usul suku Tengger. Namun, masyarakat setempat beranggapan bahwa kerabat suku Tengger berasal dari Majapahit. Hal ini berkaitan dengan masa ketika ada negara Hindu di Pulau Jawa. Pegunungan Tengger dianggap sebagai tempat suci tempat tinggal para hamba spiritual Sang Hyang Widi Wasa yang juga disebut Hulun.​​​​

Prasasti Walandhit dari tahun 851 Saka (929 M) mendukung gagasan ini. Prasasti itu menceritakan tentang sebuah desa bernama Walandhit di Pegunungan Tengger yang dianggap suci dan dihuni oleh Hyang Hulun, seorang dukun. Tim arkeolog menemukan tulisan berikutnya di daerah Penanjakan (Desa Wonokitri), Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan. Tulisan itu berasal dari tahun 1327 Saka, yang bertepatan dengan tahun Masehi 1405 M. Ketika Kerajaan Mataram Islam berkembang hingga mencakup Jawa Timur pada awal tahun 1600-an, hal itu tidak mengubah pandangan masyarakat yang tinggal di daerah Tengger, yang hingga kini masih menjadi bagian dari jati drinya.

Selain itu, kisah leluhur suku Tengger ini konon masih berkaitan dengan kisah Rara Anteng dan Jaka Seger. Rara Anteng dan Jaka Seger terpaksa membunuh anak bungsunya dan membuangnya ke kawah Bromo agar bisa memiliki keturunan. Mereka berdua tidak rela memberikan anaknya, sehingga mereka menyembunyikan R Kusuma di daerah Ngadas. Hal ini membuat kawah Bromo meletus dengan dahsyat, dan akhirnya R Kusuma memutuskan untuk merelakan sesuatu yang penting demi keselamatan keluarganya. Sebelum terjun ke dalam lubang, R Kusuma berpesan agar mengirimkan makanan segar ke Gunung Bromo setiap tanggal 14 Kasada. Itulah awal mulainya Yadnya Kasada. Orang-orang meyakini bahwa anak cucu dari Rara Anteng dan Jaka Seger adalah leluhur suku Tengger ini.

Ciri-ciri Suku Tengger

Ciri Suku Tengger dapat dilihat dari cara hidup mereka dan hal-hal yang dihasilkan oleh budaya mereka yang masih dapat dilihat hingga saat ini. Masyarakat Tengger menggunakan bahasa daerah Jawa-Tengger untuk berkomunikasi satu sama lain setiap hari. Sebagian besar masyarakat suku Tengger beragama Hindu, hal ini dapat terlihat dari adanya pura seperti Pura Luhur Poten. Rumah adat Tengger memiliki atap yang bentuknya melengkung dan menjulang, saling menumpuk. Rumah adat ini memiliki atap yang tinggi dan hanya memiliki satu atau dua jendela. Selain itu, di depan rumah perlu menyediakan bale-bale atau tempat lain untuk duduk dan bersantai.​​​​​​​

Tradisi Suku Tengger

Suku Tengger masih mengikuti berbagai macam adat istiadat berikut ini:

1. Upacara Kasada atau Yadnya​

Upacara Kasada Bagi masyarakat Tengger yang menganut agama Hindu Dharma, perayaan Kasada merupakan hari raya. Pada tanggal 14 bulan Kasada, masyarakat melaksanakan Yadnya Kasada dengan cara memberikan persembahan kepada Sang Hyang Widhi yang merupakan wujud dari Batara Brahma. Upacara Kasada terdiri dari beberapa bagian, yaitu Purkawa puja, upacara Manggala, Ngulat Ummah, Tri Sandiya, Muspa, Pembagian Bija, Diksa Widhi, dan penyerahan persembahan di kawah Bromo. Mereka memulai upacara ini dengan Sadya Kala Puja dan mengakhirinya dengan Surya Puja. Banyak masyarakat Tengger yang pergi ke Gunung Bromo untuk membawa hewan dan hasil bumi sebagai persembahan ke Pura Luhur Poten Agung. Dukun Rama Pandita akan membacakan Japa Mantera saat pelaksanaan. Ini merupakan doa untuk keselamatan seluruh dunia.​​​​​​​​​​​​​​​

2. Raya Karo atau Yadnya

Hari Raya Karo atau yang dikenal juga dengan Yadnya Karo merupakan hari raya kedua dalam kalender suku Tengger. Hari raya ini jatuh setelah Yadnya Kasada. Desa Jetak, Wonotoro, dan Ngadisari termasuk desa yang turut hadir dalam perayaan Yadnya Karo. Perayaan Yadnya Karo merupakan pengingat bagaimana Sang Hyang Widiwasa menciptakan manusia dengan cara mengawinkan dua jenis manusia yang berbeda, yaitu laki-laki dan perempuan.

3. Adat unan-unan

Di lereng Gunung Bromo, masyarakat Suku ini juga mengenal ritual dan kebiasaan suku Unan-Unan. Kata unan-unan berasal dari kata tuno yang berarti ” mengurangi “. Hal ini berkaitan dengan jumlah hari dalam kalender Tengger. Sebagian besar bulan memiliki 30 hari, tetapi beberapa bulan hanya memiliki 29 hari. Itu berarti terjadi perubahan lima hingga enam hari dalam setahun. Untuk mengatasinya, selisih hari tersebut ditambahkan dengan Bulan Dhesta yang merupakan bulan kesebelas dan hanya terjadi lima tahun sekali dalam kalender. Jadi, setiap lima tahun sekali di bulan Dhesta, suku Tengger mengadakan upacara unan-unan untuk membersihkan kota dan membuatnya aman dari segala bahaya.​​​​​​​​​ 

Penutup

Suku Tengger merupakan contoh yang menakjubkan dari keberagaman budaya Indonesia. Dengan adat istiadat yang kaya dan sejarah yang panjang. Suku Tengger tetap mempertahankan identitas dan tradisi mereka di tengah perubahan zaman. Melalui berbagai upacara seperti Yadnya Kasada dan Yadnya Karo, serta tradisi unik lainnya, mereka menjaga hubungan spiritual dengan leluhur dan lingkungan mereka. Keberadaan Suku Tengger di dataran tinggi sekitar pegunungan Bromo, Tengger, dan Semeru menjadi salah satu daya tarik budaya yang memikat, yang tidak hanya memperkaya warisan budaya nasional tetapi juga menarik minat wisatawan dari berbagai belahan dunia. Dengan demikian, mempelajari dan menghormati budaya Suku Tengger tidak hanya memberikan kita wawasan yang lebih dalam tentang keberagaman Indonesia, tetapi juga mengajarkan kita untuk menghargai warisan budaya yang telah dijaga dan dilestarikan oleh masyarakatnya selama berabad-abad.